Perangkat Desa Pada masa Hindia Belanda
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Setelah Belanda menginjakkan kakinya di tanah air, perkembangan masyarakat desa mengalami perubahan yang sangat luar biasa. Terjadinya intervensi Belanda terhadap desa – desa sangat dirasakan warga pedesaan kala itu. Begitu pula terhadap para perangkat desa, terjadi perubahan signifikan terutama dalam hal peran dan fungsinya. Namun demikian ada beberapa nilai yang memang masih dipertahankan oleh Penjajah Belanda guna kelangsungan hidup warga masyarakat pedesaan kala itu.
Perubahan sangat signifikan terjadi karena pemerintah Belanda menetapkan suatu aturan terhadap desa – desa yang ada ditanah air berikut pemerintahan desanya tidak terkecuali dengan punggawa desanya. Nilai – nilai yang masih dipertahankan biasanya berguna demi kepentingan penjajah Belanda untuk terus melanggengkan kekuasaannya di negeri ini. Aturan di buat hanya sebagai bentuk politisasi pemerintahan penjajah semata dengan tujuan akhir menguras kekayaan alam yang ada di wilayah pedesaaan pada umumnya.
Pada masa Pemerintahan Kolonial Belanda, pemerintahan desa diatur menurut “Islandsche Gemeente-Ordonnantie”(I.G.O), dalam aturan itu disebutkan bahwa penguasaan atas desa dilakukan oleh Kepala Desa yang mana dibantu oleh beberapa orang yang ditunjuk. Dan bersama – sama dengan Kepala Desa, mereka bekerjasama membangun dan menggerakkan roda pemerintahan yang ada di pedesaan sesuai dengan wilayahnya masing – masing.
Selain sebagai unsur penggerak dalam roda pemerintahan desa, para perangkat desa (khususnya Kepala Desa) berperan sebagai pembina kedamaian di wilayah pedesaan yang berarti tidak adanya suatu pengekangan terhadap kebebasan dan tidak adanya gangguan ketertiban dalam masyarakat desa, dimana dalam kedamaian terdapat tujuan dari hukum yang sebsnarnya dengan jalan terjaminnya kepastian hukum serta adanya kesetaraan dalam hukum.
Dalam perspektif hukum adat, desa – desa termasuk dalam persekutuan hukum yang disebut dengan persekutuan desa dimana di kepalai oleh tokoh masyarakat atau disebut dengan bapak masyarakat yang disebut Kepala akyat atau di jawa dikenal dengan Kepala Desa. Dimana Kepala rakyat tersebut bertugas memelihara hidup hukum di dalam persekutuan, menjaga agar hukum dapat berjalan selayaknya. Mereka bekerja tidak hanya dalam hal keperluan – keperluan rumah tangga persekutuan saja, namun juga campur tangan dalam hal perkawinan, warisan, dan soal lainnya yang berhubungan dengan ketentraman, perdamaian, keseimbangan lahir batin, untuk menegakkan hukum yang ada.
Sedangkan perangkat desa sendiri pada dasarnya merupakan pembantu dari Kepala Desa yang dipilih sendiri oleh Kepala Desa. Dalam hal tugas, wewenang dan kewajibannya adalah perpaduan antara alat desa dan alat pemerintah. Dimana bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan rumah tangga desa dan menyelenggarakan urusan – urusan kepolisian.
Peran Musyawarah Desa
Dalam hal mengenai rapat desa, pada dasarnya rapat desa terdiri dari pemerintah desa ditambah dengan mereka yang sudah memiliki hak dalam pemilihan Kepala Desa serta orang – orang yang dipandang adat dapat ikut dalam rapat desa. Dalam rapat desa akan diambil suatu persetujuan dengan jalan musyawarah yang dipimpin oleh Kepala Desa, dimana dalam rapat desa tersebut akan bersidang jika ada sesuatu masalah yang harus di musyawarahkan, misalnya pembangunan di desa, anggaran belanja jika harus Kepala Desa meminta persetujuan dari rakyat, dll.
Rapat desa merupakan salah satu bentuk demokrasi asli yang ada di tanah air yang sudah ada sejak jaman dahulu kala. Dalam rapat desa semua warga bermusyawarah dalam soal – soal tertentu. Sebagai contoh di daerah Minangkabau para penghulu andiko atau pucuk nagari dan para kepala suku serta para penghulu andiko yang merupakan kerapatan nagari berapat di balai guna menyelesaikan segala urusan nagari. Pada rapat tersebut juga hadir cerdik pandai dan alim ulama ikut dalam musyawarah dan keputusan diambil dengan dasar sekato (mufakat), sehingga di minangkabau ada pepatah yang berbunyi : “Kemenakan berajo ka mamak, mamak berajo ka penghulu, penghulu berajo ka mupakat” yang berarti bahwa suatu putusan menjadi bulat oleh karena mufakat.
Dalam era pendudukan Belanda di tanah
air, I.G.O merupakan bentuk pengakuan atas adanya desa yang di dalamnya
terkandung unsur demokrasi dan otonomi asli desa. I.G.O sendiri merupakan dasar
hukum bagi pemerintahan desa pada saat itu bukan sebagai pembentuk desa,
sedangkan desa – desa terbentuk dan ada sudah dari jaman sebelum penjajah masuk
ke wilayah nusantara. Dimana pada awalnya desa terbentuk dari kesatuan –
kesatuan masyarakat adat yang mampu bertahan dan berkembang secara eksis di
Indonesia. Di dalam I.G.O sendiri terdapat tiga hal yang mendapat perhatian
dalam masalah otonomi dan demokrasi, yakni
:
- Bahwa desa berhak memilih sendiri Kepala Desa.
- Bahwa desa memiliki hak untuk mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri.
- Desa yang terletak di dalam suatu kota di hapuskan.
Daerah Swapraja
Daerah / desa yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri lebih dikenal dengan daerah swapraja, dimana pada hakekatnya swapraja juga merupakan pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri namun tidak dibentuk dan bekerja berdasar peraturan perundangan yang berlaku. Sedangkan desa sendiri merupakan bentuk dari swapraja yang sudah ada sejak jaman dahulu, yang menjalankan pemerintahan sendiri berdasar hukum asli yang tumbuh dan berkembang serta merupakan pemerintahan terbawah. Dimana kesatuan masyarakat tersebut antar daerah satu dengan daerah yang lain, namanya tidaklah sama. Di Jawa, Madura dan Bali disebut dengan nama Desa; di Sumatera dengan nama Kampung, Nagari ; di Sulawesi dengan nama Wanua, Distrik; di NTB dengan sebutan lomblan; di NTT dengan istilah Mapoa; dan lain sebagainya.
Seperti sudah kita ketahui bahwa I.G.O
sendiri berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura, kecuali untuk Karesidenan
Surakarta dan Yogyakarta dan tanah – tanah partikelir sebelah barat dan timur
cimanuk (Jawa Barat). Sedangkan untuk
daerah – daerah lain di Nusantara, Pemerintah Belanda di adakan peraturan pokok
tentang desa – desa yang pada dasarnya sama dengan Jawa dan Madura. Peraturan –
peraturan tersebut adalah :
- Stbl.1914 no.629, 1917 no 223 jo stbl 1923 no.471 untuk daerah Ambon.
- Stbl.1918 no.677 untuk daerah Sumatera Barat.
- Stbl.1919 no.453 untuk daerah Bangka.
- Stbl.1919 no.1814 untuk daerah Palembang.
- Stbl.1922 no.547 untuk Lampung
- Stbl.1923 no.469 untuk daerah Tapanuli.
- Stbl.1924 no.75 untuk daerah Belitung,
- Stbl.1924 no.275 untuk daerah Kalimantan.
- Stbl.1931 no.6 untuk daerah Bengkulu
- Stbl.1931 no.138 untuk daerah Minahasa.
Peraturan – peraturan tersebut terangkum menjadi satu dalam I.G.O.B pada tahun 1938 no. 490 untuk daerah di luar P. Jawa dan Madura.
Perhatian Pemerintah Belanda (VOC) pada desa – desa pada saat pendudukannya di Indonesia sendiri boleh dikatakan sama sekali tidak ada atau minim, hal tersebut dikarenakan pemerintah kolonial lebih suka berhubungan dengan Raja – Raja atau Bupati – Bupati pribumi. Dimana hal ini disebabkan sosok Raja atau Bupati adalah pemimpin yang di hormati dan disegani oleh penduduk termasuk Kepala Desa dan para perangkatnya sendiri. Hal ini terbukti dengan mudahnya Raja – Raja atau Bupati memerintahkan kepada Kepala Desa untuk menyerahkan sebagian hasil buminya dalam rangka upeti dan dalam bentuk permintaan tenaga kerja bagi penduduk desa untuk kepentingan Belanda (Kerja rodi). Selain itu pemerintah kolonial beranggapan jumlah Raja – Raja maupun Bupati lebih sedikit dibanding desa – desa dan lebih mudah mengendalikannya serta jumlah pegawainyapun jauh lebih sedikit dibanding jumlah pegawai di desa – desa.
Pada masa penjajahan Belanda, susunan Pemerintahan Desa, jumlah pegawai, jenis pekerjaan dan nama jabatan satu daerah dengan daerah lainnya sangat berlainan. Dimana susunan tersebut berdasarkan adat istiadat dan kebutuhan serta kemampuan dari masing – masing desa. Hal ini dimungkinkan karena adanya kepentingan dari penjajah Belanda dimana Pemerintah Belanda membiarkan desa – desa berjalan sesuai adat masing – masing karena kurang pedulinya VOC terhadap pemerintahan desa, sehingga terjadi banyaknya variasi dalam struktur dan kewenangan pemerintahan desa termasuk jumlah perangkat desanya.
Secara struktur, perangkat desa pada masa itu di sesuaikan dengan kondisi daerah masing – masing menurut kebiasaannya. Dalam hal itu juga berlaku untuk kepala Desa, dimana Kepala Desa di pilih oleh warga masyarakat desa bukan berdasarkan keturunan dan kekerabatan, hal inilah yang menjadi ciri demokrasi asli yang tumbuh secara nyata dalam bidang pemerintahan di Indonesia. Namun dalam pelakasanaanya yang dapat menjadi Kepala Desa dapat semua warga masyarakat yang memenuhi syarat, dimana salah satu syaratnya kecuali perempuan.
Dalam hal pemilihan Kepala Desa, tidak
di atur dalam I.G.O, namun di atur tersendiri dalam Stbl. No 212 Tahun 1907
tentang pemilihan, pemberhentian sementara dan pemecatan Kepala Desa. Dalam
peraturan ordonansi No.212/1907 tersebut tidak disebutkan yang berhak dipilih
menjadi Kepala Desa, namun justru sebaliknya yakni siapa yang tidak dapat
dipilih menjadi Kepala Desa, yaitu antara lain :
- Wanita.
- Belum dewasa.
- Bekas Kepala Desa yang di pecat / diberhentikan dengan tidak hormat.
- Mereka yang berdasarkan pengadilan dicabut hak nya untuk memegang suatu jabatan pemerintah.
Dalam hal yang ber hak untuk dapat
memilih Kepala Desa, tidak semua warga masyarakat dapat ikut memilih. Sedangkan
yang ber hak untuk dapat memilih dalam pemilihan Kepala Desa, sesuai dengan
ordonansi No. 212/1907 adalah :
- Penduduk / warga yang ber – rodi (herendients).
- Pamong Desa.
- Pegawai Pemerintah Bangsa Indonesia.
- Kepala Desa yang diberhentikan dengan hormat.
- Pegawai masjid.
- Guru agama.
- Penjaga makam keramat yang di akui oleh resident.
Dalam hal perangkat desa lainnya yakni pamong desa, pengangkatan serta pemberhentiannya diserahkan kepada adat setempat. Namun pada kenyataannya, Kepala Desa biasanya memilih sendiri calon – calon pamong desa tersebut yang menurut pertimbangan cakap dan bisa di ajak kerja sama. Biasanya ditekankan pada keterampilan administrasi pada calon pamong desa tersebut. Kemudian calon pamong desa tersebut oleh Kepala Desa di ajukan kepada Bupati untuk mendapatkan pengesyahan.
Penghasilan Perangkat Desa
Pada masa penjajahan Belanda, para
perangkat desa baik Kepala desa maupun pamong desa tidak mendapatkan gaji
bulanan. Namun demikian, mereka para abdi masyarakat tersebut mendapat
penghasilan yang diperoleh dari tanah bengkok (tanah jabatan) maupun dalam bentuk
pekerjaan wajib lainnya, sepanjang hal itu memungkinkan dan demi kepentingan
masyarakat. Dimana dalam klausal
Peraturan I.G.O 1906 No 83 sendiri secara eksplisit disebutkan, bahwa :
Dalam hal tanah bengkok, merupakan tanah yang dimintakan oleh desa dari tanah pemerintah, dimana setelah adanya UU Agraria di kenal dengan tanah cap singa. Sedangkan macamnya tanah bengkok sendiri banyak bentuknya bisa berupa sawah, darat, kolam, danau atau lainnya sesuai dengan kondisi dan keadaan dari wilayah desa – desa yang ada. Tanah bengkok tersebut dapat digarap oleh Kepala Desa maupun pamong desa selama memegang jabatan, dan seandainya berhenti maka tanah bengkok tersebut akan diserahkan dan di garap oleh pemegang jabatan yang baru.
Sistem tanah bengkok merupakan salah satu cara dari adat dan kebiasaan yang diterapkan oleh nenek moyang Bangsa Indonesia untuk memberi penghasilan kepada Kepala Desa dan pamong desa atas tanda penghargaan terhadap jabatan mereka. Tanah bengkok di suatu desa bersifat abadi dalam arti tanah tersebut merupakan tanah desa sebagai sumber penghasilan perangkat desa dan tidak akan habis meskipun perangkat desa berganti – ganti orangnya. Untuk besaran dari tanah bengkok terhadap masing – masing perangkat desa ditentukan oleh pemerintah daerah dengan usul pemerintah desa.
Selain dari tanah bengkok, perangkat desa juga memiliki hak untuk mengambil dan menikmati sistem wajib kerja atau biasanya disebut dengan wajib pancen dari tenaga kerja penduduk tanpa memberi upah untuk menggarap tanah bengkoknya. Kewajiban kerja ini dapat diganti dengan uang, maka lahirlah istilah uang pancen dimana uang tersebut dikumpulkan oleh warga masyarakat sebagai gaji / penghasilan perangkat desa. Namun sekarang uang pancen tersebut biasanya berupa iuran dari warga masyarakat untuk keperluan pembangunan desa dan dilaksanakan secara gotong royong. Dalam hal uang pancen untuk penghasilan perangkat desa besarnya ditentukan dari kemampuan penduduk, kesediaan serta kesadaran penduduk dari desa tersebut.
Selain dapat penghasilan dari dua jenis penghasilan tersebut di atas, Kepala Desa dapat juga upah pungut dari jumlah pajak yang masuk sebesar 8 % dari jumlah pajak yang masuk. Dimana pembayarannya dilakukan dalam bentuk uang. Selain itu mereka juga dapat penghasilan dari prosentase sebagai saksi jual beli tanah, legalisasi surat pinjaman Bank, pengesyahan wesel pos, persentase dari lumbung desa dan penerimaan lain dai kegiatan – kegiatan, dimana penerimaan tersebut berdasarkan adat maupun peraturan pemerintah yang berlaku.
Tugas dan Kewajiban
Selain adanya hak yang diterima Kepala desa dan perangkat desa, tentunya ada tugas, tanggung jawab dan kewajiban dari para perangkat kerja tersebut. Pada dasarnya tugas perangkat desa adalah membantu Kepala Desa dalam menyelenggarakan pemerintahan desa. Dimana tugas Kepala Desa sendiri dibagi dua macam yakni tugas dalam hal urusan pemerintahan umum dan tugas dalam mengurus rumah tangga desa.
- Dalam hal urusan pemerintahan secara umum, tugas Kepala Desa termasuk perangkat desa antara lain :
- Administrator Pemerintahan
- Administrator Pembangunan.
- Administrator kemsyarakatan.
- Memegang pimpinan kebijaksanaan politik-polisionil desa.
- Menyelenggarakan pengawasan atas segala hal dalam kegiatan di desa.
- Bertanggung jawab terhadap urusan pemerintahan kepada pemerintahan di atasnya.
- Membantu segala kegiatan instansi pemerintahan atau jawatan yang sedang menyelenggarakan kegiatan di wilayah desa.
- Menyelenggarakan pembangunan di desa, dll.
Sedangkan tugas dan kewajiban Kepala
Desa dan perangkat desa dalam urusan rumah tangga desa, antara lain :
- Bertanggung jawab terhadap kelancaran penyelenggaraan urusan – urusan (I.G.O pasal 4).
- Bertanggung jawab atas pemeliharaan lembaga – lembaga (I.G.O pasal 5).
- Bertanggung jawab terhadap pengurusan keuangan desa (I.G.O pasal 5).
- Bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan pekerjaan umum desa sesuai dengan peraturan yang berlaku, misalnya jalan, saluran air, jembatan dll (I.G.O pasal 7).
- Mempunyai tanggung jawab memanggil penduduk desa untuk melaksanakan pekerjaan – pekerjaan desa (I.G.O pasal 16).
- Penandatangan wesel pos, surat keterangan, permohonan pinjaman ke bank dan tugas lainnya yang berbentuk jasa.
- Berkewajiban melaksanakan tugas pembantuan terhadap instansi – instansi pemerintah, dan lain sebagainya.
- Selain kewajiban – kewajiban tersebut, Kepala Desa dan perangkat desa juga mempunyai tugas khusus dalam bidang keamanan dan ketertiban yang yang kesemuanya untuk hal sebagai jaksa pembantu (hulpmagistraat) di atur dalam pasal 1 bagian pertama HIR, sedangkan tentang tugas dalam pekerjaan kepolisian di atur terpisah dalam HIR, Stbl. 1944 no.44. Selain kewajiban dan tugas – tugas tersebut di atas, masih banyak tugas – tugas Kepala Desa dan perangkat desa yang terkait dengan kejadian yang ada dalam wilayah para perangkat desa tersebut.
Salah satu kewajiban yang menonjol dari Kepala Desa melalui punggawa desa pada masa pendudukan Belanda adalah memilih para pemuda - pemuda di desa dalam rangka pembangunan untuk kepentingan penjajah. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk kesetiaan para perangkat desa terhadap pemerintah Belanda. Dimana para pemuda pada masa itu dipilih untuk melakukan kerja tanpa di bayar secara bergantian setiap bulan sekali dengan jalan mengirim ke obyek – obyek pembangunan penjajah, minimal setiap desa mengirimkan sepuluh orang dan digabung dengan pemuda dari desa lain. Mereka di jemput dan dipulangkan dengan menggunakan angkutan pada waktu itu (biasanya dengan truk). Setelah masa pendudukan Belanda berakhir dan dilanjutkan dengan pendudukan Jepang, kebiasaan pengiriman pemuda dalam rangka pembangunan tetap berjalan, dan bukan hanya dalam bentuk kerja saja namun mereka juga di latih seperti tentara pada masa itu, seperti baris berbaris, senam, mempergunakan senjata dan lain sebagainya. Hal demikian di ungkapkan oleh salah seorang sesepuh desa yang memang usianya sudah di atas 90 an tahun lebih, yang mana beliau merupakan salah satu pelaku dari kegiiatan yang di jalankan pemerintah kolonial masa itu .
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar