Memang jika kita lihat dan cermati pembangunan yang terjadi
di desa – desa kebanyakan masih sebatas infrastruktural
dan belum sepenuhnya menyentuh struktural.
Hal demikian wajar adanya mengingat pembangunan infrstruktur lebih mudah dilakukan
karena hanya bersifat fisik dan hasilnya jelas kelihatan secara kasat mata.
Sedangkan pembangunan struktural masyarakat pedesaan yang bersifat non fisik
tidak langsung kelihatan hasilnya, dan perlu waktu untuk menikmatinya seperti
pendidikan, kesehatan dan budaya. Semua perubahan tersebut memerlukan waktu
tersendiri yang biasanya akan berdampak baru setelah berjalannya waktu.
Kita dapat melihat atau bahkan merasakan sendiri bagiamana mulusnya jalan – jalan di kawasan
perdesaan, megahnya bangunan Balai Desa dan gedung pertemuan warga, tower
transmiter yang ada hampir di setiap kantor desa yang menandakan seakan desa
tersebut telah melek IT dan lain sebagainya yang menandakan keberhasilan secara
fisik / infrastruktur desa. Namun semua akan terasa tidak ada manfaatnya jika
kita melihat dari segi struktural yang menopang semuanya itu, kantor desa yang
megah terasa sepi seakan tak berpenghuni karena minim aktivitas dan kegiatan
warga, tower transmiter hanya terlihat menjulang tinggi dan jauh dari
optimalisasi fungsinya sebagai penyangga kebutuhan teknologi informasi warga
setempat, atau gedung posyandu yang berubah fungsi hanya untuk ngrumpi warga dan lain sebagainya.
Pembangunan infrastruktural setidaknya haruslah dibarengi
dengan pembangunan yang bersifat struktural. Hal tersebut berguna menjaga
keseimbangan antara kegiatan fisik dan non fisik. Analoginya jika pedesaan kita
umpamakan tubuh manusia, selain kita menjaga / membangun jasad dan fisik
manusia juga sudah sewajarnya di barengi dengan memberi nutrisi pada jiwa dan
mental manusia yang bersifat ruhani. Sehingga jika jiwa dan raga sehat dan
tumbuh maka akan menjadi manusia yang sempurna baik secara fisik maupun non fisik.
Serta bukan hanya sehat raganya saja namun jiwanya rapuh
Kepentingan Atau Kebutuhan
Kehadiran peraturan tentang desa yang diterbitkan pemerintah
melalui UU No 6 Th 2014 sejatinya sudah memperjelas arah daripada pembangunan
desa tersendiri. Namun peraturan yang ada saat ini, bagi para pemangku
kepentingan dimaknai hanya baru sebatas formalitas semata. Peraturan tertulis
yang ada dalam UU masih bersifat positivisme
belaka, dalam arti belumlah menyentuh hakikat dari peraturan tersebut dan
belum sepenuhnya menyentuh secara substansial atau makna dibalik terbitnya
peraturan tersebut.
Masih banyak pemangku kepentingan di desa – desa manjalankan
suatu aturan hanya apa yang tertulis saja, padahal peraturan itu bukan hanya
apa yang nampak saja namun peraturan yang tidak nampak/ tak tertulis juga merupakan
suatu aturan yang harus di patuhi. Namun banyak desa memaknai Dana Desa (DD)
menjadi suatu kewajiban bagi pemerintah yang bersifat terus menerus, padahal
jika memaknai DD sebagai perangsang (stimultan)
untuk mempercepat pembangunan desa maka jika desa telah menjadi desa mandiri
sudah sepantasnya DD tersebut dikurangi atau jika perlu di berhentikan dan bisa
di alokasikan untuk desa – desa lain yang belum mandiri, dan bukan malah di
tambah kecuali hanya bersifat pengembangan semata.
Selaras dengan itu pembangunan yang terjadi di desa – desa
saat ini jika kita perhatikan masih bersifat “obong blarak” dan terkesan ikut – ikutan terhadap desa lainnya,
padahal belum tentu satu desa dengan desa lainnya memiliki potensi lokal yang
sama. Hal ini akan menjadikan proyek yang mubazir
belaka. Di dalam UU Desa sendiri jelas sangat di perbolehkan bahkan di sarankan
agar pembangunan desa di arahkan selaras dengan kearifan lokal dan budaya
setempat. Misalnya, desa yang memiliki banyak sumber air, dapat mengembangkan ekonomi
perikanan. Desa yang memiliki keindahan alam dapat dijadikan obyek wisata dengan
menjual potensinya dan menjelma diri menjadi desa wisata, atau bahkan desa yang
banyak pengangguran pemuda desa nya pun dapat menjadi potensi lokal untuk
pembangunan desa dengan memaksimalkan peran tenaga kerja yang murah.
Adanya fenomena yang
berkembang di desa – desa tersebut pada dasarnya bukanlah hal yang baru.
Pembangunan kawasan perdesaan seyogyanya harus selaras dengan RPJMDesa yang
telah ditetapkan dalam MusrenbangDesa sebagai wujud demokrasi pedesaan yang sudah
ada. Dari RPJMDesa tersebutlah segala kebutuhan masyarakat desa akan tercantum
dalam pembangunan nantinya. Pembangunan desa haruslah di arahkan berdasarkan
kebutuhan warga masyarakat dan sesuai dengan perkembangan sosial masyarakat
desa itu sendiri.
Namun kadang dalam realitanya masih banyak pembangunan desa
yang terselipi adanya kepentingan pihak tertentu, baik dari perorangan maupun
golongan atau bahkan mengatasnamakan lembaga maupun instansi. Hal ini berakibat
terjadinya tumpang tindih (overlap) dalam
prioritas pembangunan di pedesaan. Ego sektoral kadang masih menjadi kendala
dalam menetapkan prioritas pembangunan desa.
Konsep Desa Membangun
Pembangunan di desa –
desa yang dijalankan pemerintah masih banyak yang mengusung konsep lama yakni “Membangun Desa”. Dengan konsep tersebut
setidaknya pemerintah baik pusat maupun daerah masih menjadikan desa sebagai
obyek dalam pembangunan. Hal tersebut berakibat segala pembangunan yang ada di
desa hanya memiliki sisi kepentingan dari pemerintah bukan berdasarkan
kebutuhan desa. Nampaknya konsep tersebut saat ini harus di balik menjadi “Desa Membangun”, dimana dengan konsep
ini desa menjadi subyek/pelaku pembangunan. Prakarsa dan insiatif pembangunan
akan muncul dari warga desa yang dengan sendiri akan memperhatikan hal yang
dibutuhkan desa – desa sesuai skala prioritas yang ada.
membangun desa akan berakibat kurang
maksimalnya dukungan pemerintah daerah dalam mengakomodasi penetapan
prioritas pembangunan desa yang
dilakukan pemerintah desa, hal ini masih terlihat pada tekanan pemda terhadap
desa dalam pembangunan desa. Padahal sesuai amanah yang terkandung dalam UU
Desa, pembangunan desa haruslah mengedepankan partisipatif dan bersifat Bottom Up. Hal demikian dimaksudkan agar
setiap potensi lokal yang ada di wilayah pedesaan mampu di optimalkan karena
memang hanya warga desa dan penggawa desalah yang tahu persis segala kelebihan
dan kekurangan yang ada di daerahnya.
Untuk dapat lebih memprioritaskan pembangunan desa seyogyanya
ada bebera hal yang perlu mendapat perhatian kita bersama, diantaranya yang pertama perlu adanya sinkronisasi antara
prioritas RPJMDesa dan RPJMDaerah, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang
tindih (overlap) dalam menetapkan prioritas
pembangunan kawasan perdesaan. Yang kedua
dengan mengedepankan pembangunan desa yang bersifat partisipatif. Bagaimanapun juga peran warga desa dan pemerintah
desa sangatlah besar karena merekalah yang tahu akan segala kelebihan dan
kekurangan di desanya.
Selain itu semua pihak, baik instansi, lembaga maupun dinas
terkait menghilangkan ego sektoral
dalam pembangunan desa, sehingga arah pembangunan desa akan terlihat jelas dan
desa bukan hanya sebagai obyek semata. Dengan menghilangkan ego sektoral maka
kebutuhan pembangunan desa akan lebih di utamakan di banding kepentingan dari
berbagai pihak. Selain itu dengan hilangnya ego sektoral maka tidak akan
terjadi proyek mubazir di kawasan perdesaan.
Pembangunan desa yang berdasarkan kebutuhan warga
masyarakat sangatlah di harapkan kehadirannya, bukan hanya berdasarkan
kepentingan sesaat. Desa dan masyarakatnya haruslah sudah sepantasnya menjadi
subyek pembangunan dan bukan lagi menjadi obyek lagi seperti masa lalu.
Sedangkan pembangunan desa dengan
mengedepankan pendekatan sektoral dengan berbasis kearifan lokal akan lebih
tertata dan fokus dalam mengentaskan kemiskinan dengan tujuan akhir untuk
kemakmuran warga masyarakat desa. Sehingga saat ini konsep “Desa Membangun” harus dan mau di
jalankan oleh semua pihak demi kemajuan desa sendiri.
Komentar
Posting Komentar