Negara kita adalah negara agraris, jika mengutip dari
syair Koes Plus “Orang bilang tanah kita
tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman” maka benar adanya dan
sudah selayaknya para petani menjadi tuan di negeri sendiri. Kita ingat dalam
sejarah, Bangsa Eropa datang ke Nusantara awalnya hanya sekedar mengambil
kekayaan alam semata. Hal demikian tidaklah mengherankan karena sebagian
wilayah daratan Indonesia pada dasarnya berada di wilayah pinggiran pedesaan
dengan kekayaan alam yang luar biasa. Di masa lalu tidaklah aneh kita sering
melihat penduduk desa pergi kesawah, kebun atau ladang dengan menenteng cangkul
dan parang untuk mengolah sawah dan ladangnya.
Namun demikian pemandangan tersebut saat ini menjadi
suatu hal yang langka, saya yang baru pindah dari ibu kota dan menetap di desa
sangat jarang menemukan generasi muda pergi ke sawah atau ladang. Kalaupun ada
maka orang – orang yang sudah lanjut seperti ayah saya yang sudah berusia
hampir 90 an tahun mengurus sawah dan kebun. Sawah dan kebun bagi generasi muda
tampaknya belumlah menarik untuk dijadikan obyek mata pencaharian. Generasi
muda lebih banyak beralih menekuni pekerjaan lainnya, bagi mereka sawah dan
ladang merupakan suatu yang “kuno”
dan kurang menjanjikan.
Menurut Selo Sumarjan, masyarakat petani
cenderung digolongkan pada masyarakat yang bersifat tradisionalistik dimana
mereka dalam kehidupannya lebih mengedepankan aspek “sosio – religius” dalam arti semua kehidupan dipasrahkan pada Tuhan
sebagai Sang Pencipta. Pada masyarakat pertanian yang bersifat tradisionalistik
dapat ditandai dari beberapa hal yakni :
- Penggunaan tenaga kerja manusia masih dominan.
- Masih bergantung pada kondisi alam dan cuaca
- Belum banyak mengenal pembagian dalam kerja
- Masih adanya ikatan tradisi yang kuat serta
hubungan sosial masyarakatnya bersifat kekerabatan.
|
Alat mesin tanam padi |
Perkembangan jaman dan
perubahan struktural sosial masyarakat pedesaan berdampak pada perubahan
struktur petani pedesaan dan salah satunya terjadi perubahan fundamental dalam
pertanian di desa saat ini dengan ditandai mulai sulitnya mencari tenaga kerja dalam
bidang pertanian. Petani generasi tua mulai berkurang tenaga serta daya
pikirnya, sedangkan petani generasi muda mulai hilang dari pedesaan, mereka
cenderung lebih memilih bekerja di sektor – sektor lainnya semisal pabrik,
penjaga toko maupun sektor informal lainnya. Selain itu generasi muda pedesaan
banyak yang meniggalkan kampung halamannya, menuju kota yang lebih menjanjikan
dalam hal penghasilan dan pendapatan.
Kelompok
Tani dan Modernitas Alat Pertanian
Melihat gejala tersebut, pemerintah dalam hal
ini kementerian pertanian tidaklah tinggal diam. Hal tersebut direspon cepat
oleh pihak instansi terkait dengan membuat sejumlah program pada sektor
pertanian dan satu diantaranya adalah dengan memasukkan teknologi pertanian
dalam mengelola tanah maupun tanaman. Terkait perihal minimnya generasi petani
yang ada , pemerintah saat ini membuat kebijakan dengan memberikan bantuan
berupa alat mesin pertanian (alsintan). Namun alsintan sendiri sampai saat ini
belum maksimal dalam mendongkrak produktifitas hasil pertanian. Ada beberapa
kendala yang terjadi terkait dengan bantuan alsintan itu sendiri, antara lain pertama masih minimnya pengetahuan
petani dalam penggunaan alat tersebut, yang kedua
petani cenderung belum yakin terhadap efektivitas keberhasilan dari alat
tersebut, dan yang ketiga masih
minimnya tenaga penyuluh dari instansi terkait penggunaan alat tersebut.
Menurut “Parsons” perubahan sosial
yang ada di masyarakat pedesaan haruslah di imbangi dengan suatu proses
penyesuaian (adaptasi). Selain itu
perubahan di pedesaan biasanya bersifat gradual
(bertahap) yang berdampak pada proses penyesuaian yang bersifat lambat juga,
petani desa tidak bisa dengan cepat menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
Begitu pula dalam hal penggunaan alsintan, diperlukan proses untuk penyesuaian
terhadap kebiasaan petani. Misalnya jika sebelumnya petani memanen padi dengan
cara tradisional (pakai arit) maka untuk dapat menggunakan mesin pemotong padi
haruslah di ajarkan secara bertahap dan perlu suatu pembuktian. Begitu juga
dengan alat – alat pertanian yang lain, semisal mesin penanam padi, mesin
perontok gabah, mesin pengolah tanah dan lain sebagainya.
Peran daripada Penyuluh
Pertanian Lapangan (PPL) juga sangat penting, biasanya para PPL dari instansi
terkait akan bersemangat datang dan turun kesawah jika akan ada kunjungan dari
pejabat, maupun terdapat acara tertentu. Pada hari – hari biasa mereka jarang
turun tangan (hands on) langsung terhadap
kendala yang di hadapi petani. Disini diperlukan intensitas dan konsistensi
dari para penyuluh pertanian untuk secara kontinyu memantau, semisal dengan
adanya jadwal kunjungan tetap, sehingga jika terdapat kendala pada mesin maupun
terkait alsintan dapat membantu para petani. Dengan intensitas kunjungan di
harapkan mampu merespon setiap masukan dari petani termasuk dalam memaksimalkan
penggunaan alsintan itu sendiri.
Selain itu peran daripada
serikat / kelompok tani di desa juga sangatlah vital. Penyuluh pertanian datang
ke suatu desa tidak mungkin memberikan penyuluhan yang bersifat individu, dan
lebih efektif jika di lakukan dalam kelompok / serikat tani. Lebih dari itu
dengan adanya kelompok tani, maka akan di dapatkan cara bertani yang baik termasuk
efektifitas dari alsintan. Hal demikian telah dirasakan Tukiyem seorang petani
desa Blembem, Kecamatan Jambon, Ponorogo dimana setelah bergabung dengan
Serikat Petani Indonesia (SPI) Cabang Ponorogo dimana dirinya mampu mewakili
petani Indonesia untuk berdialog di ajang Internasional seperti di India,
Filipina dan terakhir Juni 2017 lalu di Sri langka. Menurut Tukiyem,
keberhasilan pergi ke Luar negeri tersebut tidak lepas dari adanya serikat /
kelompok petani dimana dengan adanya serikat tani maka akan mempermudah
memperoleh pelatihan cara bertani yang baik. (Solopos.com/28-08-2017)
Senada dengan hal tersebut,
dengan adanya kelompok tani di harapkan pemerintah daerah maupun instansi
terkait akan mempermudah dalam pemberian bantuan, baik berupa modal maupun alat
– alat pertanian yang akan membawa pengaruh terhadap produktivitas hasil panen
nantinya. Hal ini sudah dirasakan bagi petani di delapan desa wilayah DIY yakni
Dadapayu,Pundungsari (Gunung Kidul), Taman tirto, Jagalan (Bantul), Margoagung,
Wukirharjo (Sleman), Hargomulyo, Pagerharjo (Kulonprogo). Desa – desa tersebut
menjadi percontohan bagi desa lain di DIY dalam ketahanan pangan dimana desa –
desa tersebut tadinya termasuk desa rawan pangan. (Solopos.com/28-09-2017)
Dengan
beberapa langkah tersebut, diharapkan program modernitas alat – alat pertanian melalui kelompok tani
tidak akan berjalan ditempat dan muspro,
namun akan mampu meningkatkan gairah anak muda desa dalam mengelola lahan sawah
dan produktifitas hasil pertanian akan meningkat. Selain itu dengan adanya
modernitas pertanian yang ada di pedesaan akan meningkatkan kesejehteraan bagi
petani desa pada khususnya dan akan mampu mengatasi kelangkaan hasil produksi
pertanian, sehingga pemerintah tidak perlu sering melakukan import hasil
pertanian dari negara lain karena adanya ketahanan pangan di dalam negeri.
Komentar
Posting Komentar