“Jalan Besar” Wisata Lokal Pedesaan

Gambar
Musim liburan sebentar lagi tiba, baik liburan karena anak sekolah maupun libur karena hari besar keagamaan yang pasti semua akan dinantikan bagi setiap warga Indonesia. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat di hari libur nan indah tersebut, banyak moment – moment yang mampu di lakukan warga masyarakat. Selain menjadi ajang silaturahim sebagai bentuk hubungan baik dengan keluarga, liburan biasanya dijadikan moment warga kota untuk dapat pulang ke tanah kelahirannya di desa – desa. Dalam memanfaatkan moment kebersamaan antar anggota keluarga maupun ajang silaturahim antar warga, tidaklah jarang warga masyarakat mencari tempat berkumpul yang agak nyaman terutama bagi keluarga besar yang memang berniat menjadikan moment liburan sebagai ajang reuni dan silaturahim. Selain tempat yang lapang dengan suasana yang berbeda, anggota keluarga juga dapat menjadikan sarana refreshing dalam pertemuan tersebut. Oleh karena itu biasanya warga menjadikan area wisata lokal sebagai destinasi dalam ...

Memahami Otonomi Asli Desa


Memahami keberadaan desa di Indonesia tidak sesederhana sebagaimana diformulasikan di dalam peraturan perundang - undangan. Permasalahan tentang kapan dan bilamana desa itu eksis merupakan suatu hal yang sangat dilematis, artinya apakah keberadaan desa itu terjadi karena kepentingan kekuasaan atau karena formulasi nilai ideal yang diharapkan dan hendak diwujudkan oleh suatu komunitas lokal.

Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa tidak pernah ada titik pangkal kurun waktu tentang keberadaan suatu desa. Memang keberadaan desa sendiri ada adanya kesepakatan dari warga masyarakat yang menginginkan suatu tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih tertib, damai dan tenteram. Sedangkan pemerintahan desa sebagai organ pengatur masyarakat ada setidaknya karena ada kepentingan dari penguasa, terutama pada masa oleh kolonial penjajah.

Otonomi asli desa merupakan otonomi yang asli, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah, sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang di miliki oleh desa tersebut. Namun juga harus dingat dalam pelaksanaan hak dan kewenangan dalam penyelenggaraan otonomi desa tidak dilakukan secara kebablasan, sehingga desa merasa seakan terlepas dari ikatan Negara Kesatuan republik Indonesia., tidak memiliki hubungan dengan kecamatan, kabupaten, propinsi maupun dengan pemerintah pusat, bertindak semau sendiri dan membuat peraturan desa tanpa memperhatikan peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Otonomi asli desa hingga saat ini memang masih menjadi isu perdebatan baik ditinjau dari pengertiannya maupun hakekatnya. Jika dilihat dari berbagai kebijakan pengaturan tentang desa yang ada hingga saat ini maka otonomi desa tidak secara eksplisit memiliki pengertian yang jelas dan dapat diterima secara umum. Termasuk di dalam UU No.6 tahun 2014 tentang Desa tidak ada aturan yang memuat tentang pengertian dari otonomi desa sendiri, namun dalam peraturan perundangan tersebut dijelaskan bahwa Desa memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Desa memiliki otonomi namun bukan merupakan daerah otonomi, karena menurut UU tentang Pemerintah Daerah, daerah otonomi terbatas sampai daerah tingkat II  (Kabupaten ). Dan jika berbicara mengenai konsep otonomi asli desa, maka tidak akan bisa lepas dari asal usul desa dan sejarahnya.

Hak asal usul desa dan sejarahnya sendiri tidak lepas dari masyarakat hukum adat itu sendiri sebagai pembentuk dari masyarakat desa, dimana suatu kesatuan masyarakat hukum adat untuk dapat dikatakan secara de facto masih hidup (actual existence) baik yang bersifat teritorial, genealogis, maupun yang bersifat fungsional setidak - tidaknya mengandung unsur-unsur :

  1. Adanya masyarakat yang masyarakatnya memiliki perasaan kelompok (in group feeling)Adanya pranata pemerintahan adat
  2. Adanya harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan
  3. Adanya perangkat norma hukum adat. Khusus pada kesatuan masyarakat hukum adat yang bersifat teritorial juga terdapat unsur
  4. Adanya wilayah tertentu.

Otonomi Desa Pada Masa Belanda

Namun yang paling menentukan dalam sejarah perkembangan desa di Indonesia adalah semasa kolonial Belanda, hal tersebut di karenakan untuk pertama kali pengaturan desa di perkenalkan dalam ketatanegaraan. Oleh karena itu pada dasarnya prinsip otonomi asli desa dan berkembang sampai dengan sekarang yang menjadi rujukan dari peraturan perundangan berasal dari peraturan dalam IGO ( Inlandse Gemeneente ordonantie ). Menurut Kleintjes dalam Bayu Surianingrat dikatakan bahwa :

Desa dibiarkan mempunyai wewenang untuk mengurus rumah – tangga menurut kehendaknya , dibidang kepolisian maupun pengaturan tetapi dalam penyelenggaraan desa tidaklah bebas sepenuhnya. Desa di beri otonomi dengan memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal, Kepala Wilayah atau pemerintah dari kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yang ditunjuk dengan ordonansi ”.

Dengan melihat pada pernyataan kleintjes tersebut merupakan bukti bahwa desa telah ada dan memiliki otonomi sendiri. Namun pernyataan tersebut seolah olah desa sebagai daerah otonomi diberikan oleh pemerintah kolonial, namun hal tersebut hanya sebatas penyelenggaraan desa dengan asas desentralisasi semata dan bahwa otonomi asli desa sudah ada sebelum adanya IGO, sedangkan IGO bersifat pengaturan saja.

Di dalam IGO sendiri tidak mempergunakan istilah “outonomie” melainkan “huis houdelijke belangen” (kepentingan rumah tangga). Dan di dalam prakteknya desa memiliki otonomi dalam arti luas tetapi dengan isi yang terbatas. Hal tersebut dikarenakan adanya pembatasan pengaturan rumah tangga sendiri dan desa – desa dibebani dengan tugas – tugas baru dalam pemerintahan yang dipergunakan untuk kepentingan pemerintah.

Pemberlakuan otonomi asli desa pada masa penjajahan Belanda sebenarnya tidak terlepas dari langkah politik pemerintah Belanda sendiri, dimana desa – desa diberikan kebebasan untuk dapat mengatur rumah tangganya sendiri dengan tujuan utama agar desa – desa dapat berjalan secara tertutup dan terisolasi dari dunia luar, yang berakibat penegetahuan dan pandangan masyarakat desa sendiri akan sempit dan tidak berpikir luas. Selain itu tidak terjadi penyeragaman kewenangan pada desa – desa sehingga memudahkan pemerintah penjajah untuk menerapkan politik memecah belah pada daerah – daerah. Sehingga daerah – daerah di Indonesia akan terjadi pengkotak – kotakkan. 

Secara tidak langsung pada masa Belanda telah terjadi pembodohan terhadap desa – desa di Indonesia. Belanda di satu sisi terkesan memberikan kewenangan terhadap desa untuk mengurusi urusan desa masing – masing, namun di sisi lain telah terjadi pengisolasian terhadap desa dengan dunia luar yang berakibat desa tidak mampu mengikuti perkembangan dari luar termasuk para punggawanya. Tidaklah mengherankan jika dampak tersebut sampai sekarang juga masih dirasakan desa – desa di Nusantara. Desa tetap dibiarkan miskin dan terbelakang dengan segala keterbatasannya. Perbaikan di desa – desa hanya sebatas perbaikan secara fisik semata belumlah menyetuh pada mental para penghuninya termasuk pemerintahan desa sendiri.

Sedangkan dasar dari adanya peraturan IGO itu sendiri adalah ketentuan dalam Regeeringsreglement 1854. Dimana pada intinya isi dari ketentuan dalam Regeeringsreglement 1854 adalah adanya kewenangan dan kebebasan desa untuk mengatur dan memelihara kehidupan masyarakat pedesaan dengan berdasarkan adat dan kebiasaan mastarakat di desa dan mengacu pada pemerintahan Belanda pada beberapa urusan. Selain itu, desa di beri kebebasan dalam menentukan pemerintahan desa berdasarkan tradisi masyarakat yang ada. Penjelasan atas Ordonanntie itu yang dimuat dalam Bijblad 6567 mengatakan bahwa, ketetapan-ketetapan dalam Ordonnantie tersebut secara konkret mengatur bentuk, hak dan kewajiban kekuasaan pemerintah desa dari badan pemerintahan baik berdasarkan hukum ketataprajaan maupun berdasarkan hukum perdata.

Otonomi asli desa sudah ada jauh sebelum bangsa penjajah masuk ke nusantara, hal tersebut terbukti dari “ prasati walandit “ dimana di dalam prasasti tersebut terdapat istiah swatantra (swa = sendiri dan tantra = memerintah). Hal tersebut sudah dikenal Bangsa Indonesia dan dilaksanakan dalam sistem pemerintahan di daerah. Sedangkan luasnya keswatantraan tersebut awalnya adalah maksimal yang meliputi keduniawian maupun kerokhanian dan hanya di batasi oleh batas – batas, desa atau dalam daerah hukum desa Walandit. Dan pengertian tersebutlah yang disebut dengan otonomi menurut adat, yang di dalamnya termasuk dalam hal mengurus rumah tangga desa.

Hal demikian dapat di pahami mengingat Bangsa Indonesia muncul karena adanya peradaban yang di kembangkan oleh nenek moyang kita sendiri. Dengan beragam karakteristik dan corak pengaturan desa yang ada berjalan menurut adat istiadat dan kebiasaan yang sudah berlaku dari masa nenek moyang kita. Hukum adat berjalan terlebih dahulu dibandingkan dengan peraturan yang lainnya ada. Hukum adat tradisional berjalan menyesuaikan kondisi masyarakat yang ada di daerah – daerah. Keberadaan hukum adat termasuk dalam masyarakat pedesaan merupakan hukum tertua yang sudah berjalan sebelum lahirnya hukum positive yang ada di wilayah nusantara.

Penyelenggaraaan pemerintahan desa berdasarkan hak otonomi asli desa berjalan menyesuaikan irama dari perkembangan masyarakat pedesaan baik secara psikologis, sosial, ekonomi warga yang ada di daerah tersebut. Dengan begitu terselenggaranya pemenritahan desa satu daerah dengan daerah lain tidaklah sama antar desa, baik dalam hal cara, pembagian tugas, istilah maupun pemilihan dan penetapan para pemimpin lokalnya. Mereka berjalan sesuai dengan corak dan ragamnya tersendiri, namun tujuan utama dari semua adalah terciptanya kedamaian dan ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Desa ; Harapan dan Tantangan

Inovasi Desa Lamahu di Gorontalo dengan Lamahu Command Center

“Embung Manajar” Surga Pelancong di Lereng Merbabu