“Jalan Besar” Wisata Lokal Pedesaan

Gambar
Musim liburan sebentar lagi tiba, baik liburan karena anak sekolah maupun libur karena hari besar keagamaan yang pasti semua akan dinantikan bagi setiap warga Indonesia. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat di hari libur nan indah tersebut, banyak moment – moment yang mampu di lakukan warga masyarakat. Selain menjadi ajang silaturahim sebagai bentuk hubungan baik dengan keluarga, liburan biasanya dijadikan moment warga kota untuk dapat pulang ke tanah kelahirannya di desa – desa. Dalam memanfaatkan moment kebersamaan antar anggota keluarga maupun ajang silaturahim antar warga, tidaklah jarang warga masyarakat mencari tempat berkumpul yang agak nyaman terutama bagi keluarga besar yang memang berniat menjadikan moment liburan sebagai ajang reuni dan silaturahim. Selain tempat yang lapang dengan suasana yang berbeda, anggota keluarga juga dapat menjadikan sarana refreshing dalam pertemuan tersebut. Oleh karena itu biasanya warga menjadikan area wisata lokal sebagai destinasi dalam ...

Melayani dan Dilayani*



Bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah dan pinggiran, posisi PNS di instansi pemerintah daerah masih dianggap sesuatu yang membanggakan. Hal tersebut tidak terlepas masih banyaknya opini yang berkembang bahwa bekerja sebagai PNS merupakan wujud kemapanan seseorang. PNS selain mendapatkan gaji tetap setiap bulan, cuti, fasilitas, perlindungan kesehatan serta tunjangan juga mendapatkan jaminan hari tua melalui dana pensiun. Tidak mengherankan jika banyak orang tua terutama di daerah pinggiran dan pedesaan khususnya dengan segala cara untuk dapat memasukkan putera puterinya di instansi tersebut.

Mereka selama ini banyak yang belum menyadari bahwa pegawai di instansi pemerintah keberadaannya sebagai abdi masyarakat yang bertugas melayani segala keperluan warga. Kesadaran mereka akan tugas melayani warga terabaikan dengan belum meratanya pemahaman pegawai terkait fungsi dan tugas pokoknya. Selain itu kurangnya pelatihan dan rasa peduli terhadap warga memperparah kondisi tersebut. Hal tersebut ditambah dengan budaya melayani yang belum optimal di instansi milik negara tersebut.

Sebagai warga yang baru pindah dari kota besar ke daerah, suatu saat saya berkesempatan mengurus administrasi kependudukan di instansi pemerintah daerah tempat saya tinggal. Harapan saya tidaklah sesuai kenyataan, pelayanan cepat, mudah dan ramah yang selama ini di obral belumlah sesuai dengan kenyataan. Saya melihat masih lamanya waktu tunggu warga yang hanya ingin sekedar mendapatkan informasi, antrian panjang yang semrawut serta kurang pedulinya para petugas di -garda depan- dengan wajah ”mrengat mrengut “ menambah kesan kekurang ramahan mereka. Padahal sejatinya dari warga dan rakyatlah gaji mereka dibayarkan per bulannya melalui anggaran negara.

Hati saya sempat membandingkan dengan pelayanan di perusahaan tempat saya dulu bekerja selama belasan tahun sebelum akhirnya memutuskan mengambil pensiun dini, sungguh sangat jauh bedanya. Senyum, sapa dan salam merupakan harga mati yang harus di berikan kepada pelanggan, selain itu tidak ada kasta dalam melayani pelanggan, semua pelanggan adalah sama. Kata – kata maaf, tolong dan terimakasih merupakan hal wajib yang setiap saat keluar dari mulut kita. Dan tidak aneh jika setiap tanggal 4 September, pemerintah menetapkan sebagai hari pelanggan nasional termasuk tempat saya kerja dulu ikut merayakannya.

Hadirnya UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta UU No 23/2014 tentang Pemda sampai saat ini belum terasa mampu merubah wajah buram pelayanan terhadap warga secara signifikan. Regulasi tersebut seakan dilaksanakan sebatas formalitas semata belum menyentuh pada substansinya. Konsep “ nguwongke wong ” masih berjalan ditempat, padahal konsep tersebutlah yang menjadi roh dan filosofi dari terbitnya aturan – aturan tersebut.

Melayani Dengan Hati
Aktivitas melayani dan dilayani merupakan dua kata yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan, karena dua kata tersebut sejatinya sudah ada semenjak kita dilahirkan. Saya masih ingat betul bagaimana ibu melayani saya dari kecil penuh dengan perasaan, kasih sayang tanpa pamrih apapun. Beliau sangat peduli dengan segala kondisi yang terjadi pada diri saya, meskipun saya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kondisi ibu saya. Semua yang dilakukannya penuh ketulusan dan keikhlasan.

Mendengar kata melayani, dipikiran kita seolah terbentuk opini sesuatu yang tidak mengenakkan, terlintas seperti pembantu dengan pekerjaan pada kasta / tingkatan paling rendah. Lain halnya dengan dilayani terbesit mereka adalah para majikan dan tuan. Padahal melayani merupakan suatu aktivitas yang mulia dan bernilai ibadah dalam pandangan agama. Dalam budaya melayani diperlukan suatu keahlian tersendiri terutama dalam berinteraksi dengan orang lain, selain itu sikap melayani harus didasarkan pada ketulusan bukan keterpaksaan. Sikap inilah mungkin yang akan membedakan pada hasilnya, semisal senyuman yang tulus dan terpaksa akan membawa dampak yang berbeda.

Sudah selayaknya istilah - jika bisa dipermudah kenapa harus dipersulit - bukan hanya menjadi slogan semata tanpa ada aksi nyata. Konsep pelayanan satu pintu (one stop service), pemberian reward bagi instansi dengan pelayanan terbaik, pelayanan publik dengan pendekatan lokal, mempermudah segala jenis perijinan  sampai membuat inovasi dan langkah terobosan dalam pelayanan merupakan sebagian langkah yang sudah dijalankan. Namun nampaknya juga belum maksimal dalam memberikan layanan publik yang memadai.

Merubah pola pikir (mind set) setiap abdi masyarakat merupakan langkah awal dari sebuah perubahan budaya birokrasi yang melayani. Karena maklum adanya selama ini terbentuk opini di masyarakat daerah termasuk tempat saya tinggal bahwa pegawai instansi pemerintah merupakan “ kaum terhormat ” dengan segala atributnya yang melekat. Pola pikir PNS itulah yang kiranya perlu dirubah.

Selain itu perlu disiapkan SDM yang handal dan kompeten. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan maupun kursus terkait dalam hal pelayanan dari pihak yang kompeten. Dengan adanya pelatihan terhadap seni melayani maka akan terbentuk sikap membantu (hands on) dan peduli (care) bagi warga yang kesulitan dalam mengurus sesuatunya. Disamping itu dengan meratanya SDM akan bisa diterapkan standard pelayanan terhadap pelanggan.

Sejalan dengan itu perbaikan infrastruktur berupa sarana dan prasarana juga diperlukan. Dalam hal ini diperlukan suatu standard prosedur pelayanan yang berguna menyamakan persepsi antar pegawai dan unit kerja instansi. Sebagai contoh  bagaimana mampu melayani pembuatan identitas kependudukan yang baik seandainya tidak memiliki standar pemindai retina mata, standard perangkat IT dan lain sebagainya.

Namun ada satu hal mendasar yang diperlukan guna mampu melayani warga dengan baik yakni hadirnya hati dari setiap individu yang terlibat pelayanan. Saya optimis prinsip melayani dengan hati menjadikan setiap abdi masyarakat mampu merasakan bagaimana mereka bisa menempatkan diri jika seandainya menjadi warga yang memerlukan pelayanan. Selain itu dengan pelayanan yang keluar dari hati maka akan timbul ketulusan dan keikhlasan, bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban semata. Melayani merupakan sebuah seni dimana dalam seni diperlukan sentuhan perasaan yag bersumber dari hati.

Ke optimisan saya lebih kuat lagi karena saya percaya bahwa setiap individu di karuniai Tuhan dengan hati, tergantung bagaimana orang tersebut menjaga dan memoles hati masing – masing. Dengan hati, konsep “memanusiakan manusia” akan terjadi dan kemampuan menghargai warga akan tercipta. Disisi lain pelayanan yang keluar dari hati juga akan membawa dampak positif bagi si pelayan itu sendiri. Secara tidak langsung sikap ramah, mudah tersenyum, suka menyapa dan ringan tangan dalam membantu akan terbentuk dalam kehidupan sehari – hari tanpa kita sadari. Dimana sikap – sikap tersebut sejatinya sangat diperlukan dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial bermasyarakat.

Sudah saatnya mereka meninggalkan kebiasaan untuk dilayani, dan menjadi pribadi yang melayani hal tersebut disebabkan dari rakyat dan wargalah para abdi masyarakat tersebut selama ini di gaji. Dan sudah sepantasnya mereka bekerja sepenuh hati untuk melayani warga dalam berbagai hal sesuai kompetensinya sendiri.....

*Artikel pernah di muat pada kolom gagasan Harian Solo Pos Edisi Kamis, 04 Oktober 2018

Komentar

  1. Hebat sekali pak saya suka artikel ini, memang beberapa daerah instansi pemerintah terkadang memberi pelayanan berbeda pada beberapa orang bahkan sering pelayan masyarakat mengutamakan pelayanan lebih pada orang orang yang bisa dibilang memiliki nilai lebih seperti ber-uang atau ber-paras cantik/tampan lebih didahulukan atau diberi kenyamanan oleh petugas/pelayan instansi pemerintah. Dan saya juga setuju bahwa dalam hal melayani seseorang itu juga merupakan suatu bentuk ibadah seperti yg diajarkan pada saya bahwa "jika kau mempermudah urusan manusia maka Tuhan akan mempermudah urusan mu" maka memang perlu rasa ikhlas yang besar dan juga butuh dilatih sejak dini agar bisa berguna untuk masyarakat

    Saran saya mungkin dalam artikel ini bisa ditambahkan tentang bagaimana sikap mereka yang dilayani agar bisa lebih memperhatikan tata krama disaat meminta permohonan dalam instansi masyarakat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pelayanan pada masyarakat saat ini merupakan suatu hal yang sudah semestinya d jalan kan terutama pra birokrat negeri ini. Sifat melayani juga harus keluar dari hati bukan hanya menggugurkan kewajiban semata, seperti seorang ibu melayani anaknya atau sebaliknya.

      Hapus
  2. Sangat bagus pak artikel anda, pembahasan yang menarik serta isi yang jelas apa adanya ini seharusnya menjadi 'sentilan' kepada pihak pihak terkait. Dan tidak dipungkiri memang pihak pihak tersebut selalu membanding bandingkan pelayanan mereka. Saya sendiri pernah mengantar teman saya untuk mengurus kepentingan, karena teman saya ini anak seorang pejabat, maka pihak pihak mereka ini langsung mengurus berkas teman saya. Padahal banyak yang sudah mengantre sejak pagi, saya sendiri merasa malu saat itu.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Desa ; Harapan dan Tantangan

Inovasi Desa Lamahu di Gorontalo dengan Lamahu Command Center

“Embung Manajar” Surga Pelancong di Lereng Merbabu