“Jalan Besar” Wisata Lokal Pedesaan

Gambar
Musim liburan sebentar lagi tiba, baik liburan karena anak sekolah maupun libur karena hari besar keagamaan yang pasti semua akan dinantikan bagi setiap warga Indonesia. Hal ini tidaklah berlebihan mengingat di hari libur nan indah tersebut, banyak moment – moment yang mampu di lakukan warga masyarakat. Selain menjadi ajang silaturahim sebagai bentuk hubungan baik dengan keluarga, liburan biasanya dijadikan moment warga kota untuk dapat pulang ke tanah kelahirannya di desa – desa. Dalam memanfaatkan moment kebersamaan antar anggota keluarga maupun ajang silaturahim antar warga, tidaklah jarang warga masyarakat mencari tempat berkumpul yang agak nyaman terutama bagi keluarga besar yang memang berniat menjadikan moment liburan sebagai ajang reuni dan silaturahim. Selain tempat yang lapang dengan suasana yang berbeda, anggota keluarga juga dapat menjadikan sarana refreshing dalam pertemuan tersebut. Oleh karena itu biasanya warga menjadikan area wisata lokal sebagai destinasi dalam ...

Mewaspadai Politisasi Penggawa Desa


Penyelenggaraan Pilpres (pemilihan Presiden) dan Pileg (Pemilihan Legislatif) secara bersamaan di Indonesia membawa dampak yang positif bagi perkembangan demokrasi di tanah air, terlebih bagi daerah – daerah yang akan mencari calon wakil rakyatnya. Dampak secara tidak langsung juga akan dirasakan pada warga masyarakat pedesaan. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar calon pemilih berada di kawasan pedesaan dan pinggiran wilayah pemilihan. Hal ini menjadikan perebutan peta suara akan banyak bergulir di daerah pedesaan dan pinggiran, karena memang sebagian besar jumlah penduduk di wilayah Nusantara sebagian besar berada di pinggiran dan pedesaan.

Bagi para kontestan dan pengusungnya, mereka akan memaksimalkan segala cara dan  potensi guna meraih suara di kawasan pedesaan tersebut. Mereka akan berlomba menarik simpati warga masyarakat pedesaan guna mencoblos calon kontestannya. Banyak cara yang akan dilakukan para kontestan Pilleg untuk mewujudkan ambisinya tersebut, dimana cara yang sudah lazim selama ini dilakukan salah satunya dengan membangun cabang – cabang politik di wilayah pedesaan dengan menempatkan orang – orang mereka. Dengan adanya cabang tersebut akan mempermudah mesin politik baik dari tingkat pusat maupun daerah dalam mensosialisasikan program dan agenda yang akan dikerjakan para calon wakil rakyat tersebut. Dengan adanya cabang politik di pedesaan maka peluang dalam menarik simpati warga masyarakat desa akan terbuka lebar, mengingat para anggota cabang politik di pedesaan biasanya terdiri dari para pemuka adat maupun tokoh mayarakat setempat.

Namun yang patut mendapat perhatian KPU terlebih Bawaslu dan Panwaslu serta kita semua, agar terselenggaranya Pemilihan yang bebas, jujur dan adil maka sudah selayaknya para kontestan Pilleg tersebut menjauhkan dan menghindari larangan selama pelaksanaan Pilkada, dimana salah satunya dengan mempolitisasi perangkat / pamong desa baik secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih hal ini sudah sangat jelas termaktub di dalam UU Desa pada pasal 51 UU No 6/2014, dimana para perangkat desa di larang menjadi pengurus parpol maupun ikut serta dalam kampanye Pemilu atau Pilkada. Dengan kata lain netralitas para pamong desa sangat di harapkan dalam gelaran Pemilu. Dengan adanya netralitas pamong desa maka semua kontestan akan diberlakukan secara adil. Warga masyarakat desa sebagai masyarakat pemilih juga akan terbebas dari intimidasi baik secara moral, terlebih intimidasi secara fisik. Dengan adanya Pilleg dan Pilpres tahun ini netralitas perangkat desa akan mendapatkan ujian yang sebenarnya dan sangat mahal arti netralitas bagi demokrasi.

Hal tersebut perlu mendapat perhatian bersama mengingat ancaman politisasi perangkat desa dapat saja terjadi dalam gelaran Pemilu tahun ini. Dimana Perangkat Desa yang sering disebut sebagai “Pamong Desa” posisinya sangat strategis yakni mereka sebagai pemuka masyarakat  memperoleh mandat untuk mengayomi dan membimbing  warga desa. Mereka juga mempunyai atribut mentereng sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Para pamong desa tersebut biasanya lebih dekat terhadap warga masyarakat pedesaan. Suara dan kata mereka akan didengar dan dipatuhi oleh warga pedesaan. Petuah dan saran mereka lebih di hormati dibanding para wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif daerah maupun pusat. Dengan adanya kedekatan para pamong desa dengan warga tersebut, menjadikan para kontestan akan berusaha mendekati dan  merayu para perangkat desa guna mempengaruhi suara para pemilih. Hal inilah yang menjadikan salah satu ancaman Pilkada tahun ini akan kehilangan roh demokrasinya. Terlebih bagi para incumbent banyak modus dan alasan untuk mendekati serta memperalat para birokrat desa guna memenangkan mereka di daerah – daerah.

            Sejarah Politisasi Penggawa Desa 
Memang tidak bisa di pungkiri, politisasi perangkat desa sudah ada dan terjadi sejak jaman dahulu kala. Desa – desa kehilangan demokratisasinya sejak masuknya kerajaan Hindu dan Budha di tanah air. Hal demikian terjadi dimana desa pada saat itu mempergunakan sistem pemerintahan yang agraris. Kehidupan rakyat desa sangat dekat dan tergantung pada tanah. Raja sebagai penguasa tertinggi tentu tidak dapat menjalankan pemerintahan tanpa bantuan birokrat kerajaan yang berada di pedesaan. Kerajaan agraris asetnya hanya tanah, padahal raja dan para birokratnya harus membiayai pemerintahan dan birokrat bawahannya. Sebagai imbalan jasa untuk  para birokrat desa itu diberi  apanage  atau tanah  lungguh (Suhartono, 1991). Dengan adanya kebijakan tanah lungguh tersebut, maka para perangkat desa akan setia terhadap segala perintah sang penguasa. Begitu pula pada masa Mataram Islam, desa-desa dipimpin oleh demang untuk desa besar dan untuk desa kecil oleh mantri atau lurah. Merekalah yang harus dipegang. Pada masa-masa kemudian   karena   perluasan   birokrasi   kerajaan   diperlukan   birokrat   yang   memiliki departemen   dengan   berbagai   fungsi,   sehingga   pembentukan   desa-desa   baru   dilakukan (Suhartono, 2003).

Pada masa penjajahan, para Bangsa Penjajah lebih suka bekerja sama dengan penguasa lokal / pemerintahan desa. Dengan memegang penguasa lokal maka akan memperkecil terjadinya konflik horisontal dengan warga masyarakat desa secara langsung. Selain itu pula penguasa lokal pedesaan lebih didengar suaranya oleh rakyat.  Bangsa Penjajah membentuk Bekel guna menarik pajak terhadap hasil pertanian warga pedesaan. Dengan demikian politisasi terhadap perangkat desa  sangat berguna bagi para penjajah guna meraup keuntungan Bangsa Penjajah tersebut, dimana para penjajah memanfaatkan ketokohan daripada perangkat desa untuk menjalankan agenda politiknya yakni memeras hasil kekayaan bumi nusantara. Pengangkatan punggawa desa termasuk lurah  oleh Bupati pada masa itu menggambarkan terjadinya integrasi kekuasaan vertikal yang makin kuat.

Netralitas perangkat desa mencapai titik nadirnya dikala pemerintahan orde baru datang, dimana hal tersebut tidak lepas daripada berlakunya peraturan tentang desa yang ada pada masa itu. Melalui UU No 5/1979, pemerintah menerapkan sistem regimentasi (penyeragaman) bagi desa – desa di seluruh Indonesia. Penyeragaman bukan hanya dalam pemerintahan dan pembangunan desa saja, namun juga dalam hal kepegawaian pemerintahan desa. Semua kebijakan di tingkat lokal pedesaan bersumber pada pemerintah pusat. Sentralistik kekuasaan pusat membelenggu demokratisasi yang ada di desa – desa. Tangan – tangan birokrat tingkat pedesaan pada jaman orde baru hanyalah kepanjangan tangan daripada pemerintah pusat semata. Pada intinya, pada masa orde baru ini keberadaan para abdi masyarakat tersebut merupakan salah satu cara dalam melanggengkan kekuasaan pemerintah masa itu.

Tantangan Netralitas Penggawa Desa
Masa setelah reformasi terjadi, desa – desa di Indonesia melalui perangkatnya mulai berbenah. Hal ini tidak lepas dari adanya perubahan payung hukum tentang desa yang menjadi kebijakan dalam pembangunan pedesaan. Setidaknya sampai saat ini dari masa reformasi sudah tiga kali payung hukum tentang desa silih berganti dijalankan. Hal demikian wajar mengingat begitu pentingnya arti desa terhadap pemerintah, terutama jika dilihat dari sisi politiknya. Dengan memajukan desa – desa dan terjadinya percepatan dan pemerataan pembangunan pedesaan maka secara otomatis akan meningkatkan kepercayaan warga pedesaan terhadap pemerintah.

Hasil gambar untuk politisasi perangkat desa
Sentralistik kekuasaan yang tadinya berkembang, dirubah menjadi desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya desentralisasi akan menghasilkan sebuah perubahan yang terjadi pada pemerintah daerah dimana pemerintah lokal daerah akan mampu berkembang dan terkonsolidasi. Namun yang perlu dicermati, desentralisasi juga akan membawa perubahan pada komposisi demografis (terutama dalam hal etnisitas dan agama), hal tersebut merupakan konsekuensi akan adanya desentralisasi yang juga berdampak pada berkembangnya politik lokal yang ada di daerah – daerah.( Aloysius Gunadi Brata,2013)

Adanya desentralisasi membuat penguasa lokal daerah bagaikan “raja kecil”, termasuk dalam pemerintahan desa semua komando berasal dari penguasa daerah tersebut.. Hal ini membuka peluang terjadinya persekongkolan antara elite desa dengan pemda   untuk   secara   bersama-sama   mengeksploitasi   potensi   masyarakat   guna memenangkan salah satu kontestan Pilkada. Kerjasama   negara   dengan   penguasa   lokal   bukannya   menciptakan   demokrasi yang sebenarnya , akan tetapi lebih merupakan kerjasama yang bersifat politis. Dengan begitu dapat dipahami bahwa keberadaan desa lebih merupakan alat ekonomi dan politik dari yang kuat.

Ketika keberadaan desa merupakan obyek politik kekuasaan, maka perangkat desa sebagai alat ekonomi dan politik masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Alasannya cukup sederhana,yakni pamong desa merupakan penggerak masyarakat desa sekaligus terdapatnya kedekatan mereka dengan warga. Posisi perangkat desa sangat bagus dalam mempengaruhi masyarakat dalam memilih salah satu kontestan peserta Pilkada.  Netralitas abdi masyarakat sangat di perlukan guna mendukung suksesnya Pilkada. Lancar dan tidaknya gelaran Pilkada, salah satunya akan ditentukan dari keberadaan para abdi masyarakat tersebut.

Ancaman netralitas perangkat desa akan nampak sekali nantinya saat pasangan calon penguasa daerah beserta mesin politiknya banyak menyalurkan bantuan sosial kepada desa – desa. Biasanya mereka akan mengatasnamakan dana bantuan cuma – cuma untuk kegiatan sosial maupun pembangunan bagi masyarakat pedesaan melalui perantara para birokrat di desa tersebut. Disini diperlukan kearifan serta ketegasan para penggawa desa tersebut untuk dapat memilih dan memilah mana yang betul – betul merupakan bantuan sosial atau hanya sekedar mencari simpatisan dari mesin politik calon pemimpin daerahnya. Para Paslon (pasangan calon) tersebut akan gesit memanfaatkan setiap peluang dalam menarik simpati pamong desa untuk membantu memenangkan para kontestannya, baik secara terang – terangan, sembunyi maupun dengan modus lainnya.

Begitu pentingnya netralitas pamong desa, maka terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bersama, antara lain :
  1.  Diperlukan ketegasan Bawaslu  dan Panwaslu dalam mengawasi setiap gerak para abdi masyarakat tersebut, dimana keterlibatan warga masyarakat desa di perlukan guna melaporkan setiap kecurangan yang dilakukan para perangkat desa di wilayahnya.
  2.  Adanya komitmen yang kuat dari para kontestan untuk menjaga netralitas perangkat desa serta tidak bertindak curang dengan cara mempolitisasi perangkat desa yang ada di wilayah pemilihannya, dengan jalan salah satunya membuat pakta integritas.
  3.  Dalam mencegah politisasi perangkat desa dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan kinerja daripada Satgas Dana Desa (DD) yang telah dibentuk pemerintah, dimana kita sudah maklum adanya bahwa menjelang Pemilu sangat rentan terjadi penyelewengan DD yang akan di manfaatkan untuk memobilisasi pembangunan desa dengan mengatasnamakan salah satu kontestan calon anggota dewan.
  4. Hadirnya moral yang kuat daripada setiap personil perangkat desa untuk tidak menerima setiap bujuk rayu dengan imbalan apapun dari para kontestan guna memenangkan salah satu calon legislatif dimana para perangkat desa harus selalu berpegang teguh pada aturan yang ada dan berlaku.


Ancaman politisasi perangkat desa di tahun politik ini haruslah diwaspadai, mengingat posisi mereka yang strategis di pedesaan. Para kontestan Pemilu di daerah mempunyai peluang yang sangat besar dalam memanfaatkan posisi perangkat desa. Oleh karena itu netralitas keberadaan para abdi masyarakat tersebut tetaplah harus dijaga. Warga masyarakat bersama KPU dan Bawaslu harus bekerja ekstra dalam menjaga netralitasnya. Dengan demikian proses pemilu sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi di Indonesia senantiasa akan dapat berjalan dengan jujur, adil serta jauh dari kecurangan. Sekecil apapun keterlibatan perangkat desa dalam pemenangan salah satu kontestan perlu dilaporkan. Dengan begitu marwah demokrasi terus akan terjaga.

Sudah saatnya desa – desa di tanah air menunjukkan jati dirinya, dimana demokrasi pedesaan yang selama ini di agung – agungkan dan sudah berjalan selama berabad – abad dapat menjadi contoh bagi pemerintah dalam pelaksanaan Pemilu. Demokrasi lokal pedesaan yang selama ini telah berjalan tidak layak untuk dinodai dengan adanya politisasi terhadap perangkat desa dalam Pemilu tahun ini. Warga masyarakat desa biasanya akan tertib dan antusias dalam memberikan suaranya pada pencoblosan, selain itu juga mereka tetap menjaga kerukunan meskipun berbeda dalam pemilihan para kontestan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pembangunan Desa ; Harapan dan Tantangan

Inovasi Desa Lamahu di Gorontalo dengan Lamahu Command Center

“Embung Manajar” Surga Pelancong di Lereng Merbabu