Penyelenggaraan
Pilpres (pemilihan Presiden) dan Pileg (Pemilihan Legislatif) secara bersamaan
di Indonesia membawa dampak yang positif bagi perkembangan demokrasi di tanah
air, terlebih bagi daerah – daerah yang akan mencari calon wakil rakyatnya.
Dampak secara tidak langsung juga akan dirasakan pada warga masyarakat
pedesaan. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar calon pemilih berada di
kawasan pedesaan dan pinggiran wilayah pemilihan. Hal ini menjadikan perebutan
peta suara akan banyak bergulir di daerah pedesaan dan pinggiran, karena memang
sebagian besar jumlah penduduk di wilayah Nusantara sebagian besar berada di
pinggiran dan pedesaan.
Bagi para
kontestan dan pengusungnya, mereka akan memaksimalkan segala cara dan potensi guna meraih suara di kawasan pedesaan
tersebut. Mereka akan berlomba menarik simpati warga masyarakat pedesaan guna
mencoblos calon kontestannya. Banyak cara yang akan dilakukan para kontestan
Pilleg untuk mewujudkan ambisinya tersebut, dimana cara yang sudah lazim selama
ini dilakukan salah satunya dengan membangun cabang – cabang politik di wilayah
pedesaan dengan menempatkan orang – orang mereka. Dengan adanya cabang tersebut
akan mempermudah mesin politik baik dari tingkat pusat maupun daerah dalam
mensosialisasikan program dan agenda yang akan dikerjakan para calon wakil
rakyat tersebut. Dengan adanya cabang politik di pedesaan maka peluang dalam
menarik simpati warga masyarakat desa akan terbuka lebar, mengingat para
anggota cabang politik di pedesaan biasanya terdiri dari para pemuka adat
maupun tokoh mayarakat setempat.
Namun yang patut
mendapat perhatian KPU terlebih Bawaslu dan Panwaslu serta kita semua, agar
terselenggaranya Pemilihan yang bebas, jujur dan adil maka sudah selayaknya
para kontestan Pilleg tersebut menjauhkan dan menghindari larangan selama
pelaksanaan Pilkada, dimana salah satunya dengan mempolitisasi perangkat /
pamong desa baik secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih hal ini sudah
sangat jelas termaktub di dalam UU Desa pada pasal 51 UU No 6/2014, dimana para
perangkat desa di larang menjadi pengurus parpol maupun ikut serta dalam
kampanye Pemilu atau Pilkada. Dengan kata lain netralitas para pamong desa
sangat di harapkan dalam gelaran Pemilu. Dengan adanya netralitas pamong desa
maka semua kontestan akan diberlakukan secara adil. Warga masyarakat desa
sebagai masyarakat pemilih juga akan terbebas dari intimidasi baik secara
moral, terlebih intimidasi secara fisik. Dengan adanya Pilleg dan Pilpres tahun
ini netralitas perangkat desa akan mendapatkan ujian yang sebenarnya dan sangat
mahal arti netralitas bagi demokrasi.
Hal tersebut
perlu mendapat perhatian bersama mengingat ancaman politisasi perangkat desa
dapat saja terjadi dalam gelaran Pemilu tahun ini. Dimana Perangkat Desa yang sering disebut sebagai
“Pamong Desa” posisinya sangat strategis yakni mereka sebagai pemuka
masyarakat memperoleh mandat untuk
mengayomi dan membimbing warga desa. Mereka juga mempunyai atribut
mentereng sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Para pamong desa tersebut
biasanya lebih dekat terhadap warga masyarakat pedesaan. Suara dan kata mereka
akan didengar dan dipatuhi oleh warga pedesaan. Petuah dan saran mereka lebih
di hormati dibanding para wakil rakyat yang duduk di kursi legislatif daerah
maupun pusat. Dengan adanya kedekatan para pamong desa dengan warga tersebut,
menjadikan para kontestan akan berusaha mendekati dan merayu para perangkat desa guna mempengaruhi
suara para pemilih. Hal inilah yang menjadikan salah satu ancaman Pilkada tahun
ini akan kehilangan roh demokrasinya. Terlebih bagi para incumbent banyak modus dan alasan untuk mendekati serta memperalat para
birokrat desa guna memenangkan mereka di daerah – daerah.
Sejarah Politisasi Penggawa Desa
Memang tidak bisa
di pungkiri, politisasi perangkat desa sudah ada dan terjadi sejak jaman dahulu
kala. Desa – desa kehilangan demokratisasinya sejak masuknya kerajaan Hindu dan
Budha di tanah air. Hal demikian terjadi dimana desa
pada saat itu mempergunakan sistem pemerintahan yang agraris. Kehidupan rakyat
desa sangat dekat dan tergantung pada tanah. Raja sebagai penguasa tertinggi
tentu tidak dapat menjalankan pemerintahan tanpa bantuan birokrat kerajaan yang
berada di pedesaan. Kerajaan agraris asetnya hanya tanah, padahal raja dan para
birokratnya harus membiayai pemerintahan dan birokrat bawahannya. Sebagai
imbalan jasa untuk para birokrat desa
itu diberi apanage
atau tanah lungguh
(Suhartono, 1991). Dengan adanya kebijakan tanah lungguh tersebut, maka para
perangkat desa akan setia terhadap segala perintah sang penguasa. Begitu pula
pada masa Mataram Islam, desa-desa dipimpin oleh demang untuk desa besar dan
untuk desa kecil oleh mantri atau lurah. Merekalah yang harus dipegang. Pada
masa-masa kemudian karena perluasan
birokrasi kerajaan diperlukan
birokrat yang memiliki departemen dengan
berbagai fungsi, sehingga
pembentukan desa-desa baru
dilakukan (Suhartono, 2003).
Pada masa
penjajahan, para Bangsa Penjajah lebih suka bekerja sama dengan penguasa lokal
/ pemerintahan desa. Dengan memegang penguasa lokal maka akan memperkecil
terjadinya konflik horisontal dengan warga masyarakat desa secara langsung.
Selain itu pula penguasa lokal pedesaan lebih didengar suaranya oleh
rakyat. Bangsa Penjajah membentuk Bekel guna menarik pajak terhadap hasil
pertanian warga pedesaan. Dengan demikian politisasi terhadap perangkat
desa sangat berguna bagi para penjajah
guna meraup keuntungan Bangsa Penjajah tersebut, dimana para penjajah
memanfaatkan ketokohan daripada perangkat desa untuk menjalankan agenda
politiknya yakni memeras hasil kekayaan bumi nusantara. Pengangkatan punggawa
desa termasuk lurah oleh Bupati pada
masa itu menggambarkan terjadinya integrasi kekuasaan vertikal yang makin kuat.
Netralitas
perangkat desa mencapai titik nadirnya dikala pemerintahan orde baru datang,
dimana hal tersebut tidak lepas daripada berlakunya peraturan tentang desa yang
ada pada masa itu. Melalui UU No 5/1979, pemerintah menerapkan sistem regimentasi (penyeragaman) bagi desa –
desa di seluruh Indonesia. Penyeragaman bukan hanya dalam pemerintahan dan
pembangunan desa saja, namun juga dalam hal kepegawaian pemerintahan desa.
Semua kebijakan di tingkat lokal pedesaan bersumber pada pemerintah pusat.
Sentralistik kekuasaan pusat membelenggu demokratisasi yang ada di desa – desa.
Tangan – tangan birokrat tingkat pedesaan pada jaman orde baru hanyalah
kepanjangan tangan daripada pemerintah pusat semata. Pada intinya, pada masa
orde baru ini keberadaan para abdi masyarakat tersebut merupakan salah satu
cara dalam melanggengkan kekuasaan pemerintah masa itu.
Tantangan Netralitas Penggawa Desa
Masa
setelah reformasi terjadi, desa – desa di Indonesia melalui perangkatnya mulai
berbenah. Hal ini tidak lepas dari adanya perubahan payung hukum tentang desa
yang menjadi kebijakan dalam pembangunan pedesaan. Setidaknya sampai saat ini
dari masa reformasi sudah tiga kali payung hukum tentang desa silih berganti
dijalankan. Hal demikian wajar mengingat begitu pentingnya arti desa terhadap
pemerintah, terutama jika dilihat dari sisi politiknya. Dengan memajukan desa –
desa dan terjadinya percepatan dan pemerataan pembangunan pedesaan maka secara
otomatis akan meningkatkan kepercayaan warga pedesaan terhadap pemerintah.
Sentralistik
kekuasaan yang tadinya berkembang, dirubah menjadi desentralisasi kekuasaan. Dengan adanya
desentralisasi akan menghasilkan sebuah perubahan yang terjadi pada pemerintah
daerah dimana pemerintah lokal daerah akan mampu berkembang dan terkonsolidasi.
Namun yang perlu dicermati, desentralisasi juga akan membawa perubahan pada
komposisi demografis (terutama dalam hal etnisitas dan agama), hal tersebut
merupakan konsekuensi akan adanya desentralisasi yang juga berdampak pada
berkembangnya politik lokal yang ada di daerah – daerah.( Aloysius
Gunadi Brata,2013)
Adanya
desentralisasi membuat penguasa lokal daerah bagaikan “raja kecil”, termasuk
dalam pemerintahan desa semua komando berasal dari penguasa daerah tersebut..
Hal ini membuka peluang terjadinya persekongkolan antara elite desa dengan
pemda untuk secara
bersama-sama
mengeksploitasi potensi masyarakat
guna memenangkan salah satu kontestan Pilkada. Kerjasama negara
dengan penguasa lokal
bukannya menciptakan demokrasi yang sebenarnya , akan tetapi
lebih merupakan kerjasama yang bersifat politis. Dengan begitu dapat dipahami
bahwa keberadaan desa lebih merupakan alat ekonomi dan politik dari yang kuat.
Ketika
keberadaan desa merupakan obyek politik kekuasaan, maka perangkat desa sebagai
alat ekonomi dan politik masyarakat merupakan suatu keniscayaan. Alasannya
cukup sederhana,yakni pamong desa merupakan penggerak masyarakat desa sekaligus
terdapatnya kedekatan mereka dengan warga. Posisi perangkat desa sangat bagus
dalam mempengaruhi masyarakat dalam memilih salah satu kontestan peserta
Pilkada. Netralitas abdi masyarakat
sangat di perlukan guna mendukung suksesnya Pilkada. Lancar dan tidaknya
gelaran Pilkada, salah satunya akan ditentukan dari keberadaan para abdi
masyarakat tersebut.
Ancaman
netralitas perangkat desa akan nampak sekali nantinya saat pasangan calon
penguasa daerah beserta mesin politiknya banyak menyalurkan bantuan sosial
kepada desa – desa. Biasanya mereka akan mengatasnamakan dana bantuan cuma –
cuma untuk kegiatan sosial maupun pembangunan bagi masyarakat pedesaan melalui
perantara para birokrat di desa tersebut. Disini diperlukan kearifan serta
ketegasan para penggawa desa tersebut untuk dapat memilih dan memilah mana yang
betul – betul merupakan bantuan sosial atau hanya sekedar mencari simpatisan
dari mesin politik calon pemimpin daerahnya. Para Paslon (pasangan calon)
tersebut akan gesit memanfaatkan setiap peluang dalam menarik simpati pamong
desa untuk membantu memenangkan para kontestannya, baik secara terang – terangan,
sembunyi maupun dengan modus lainnya.
Begitu
pentingnya netralitas pamong desa, maka terdapat beberapa hal yang perlu
mendapat perhatian bersama, antara lain :
- Diperlukan
ketegasan Bawaslu dan Panwaslu dalam
mengawasi setiap gerak para abdi masyarakat tersebut, dimana keterlibatan warga
masyarakat desa di perlukan guna melaporkan setiap kecurangan yang dilakukan
para perangkat desa di wilayahnya.
- Adanya
komitmen yang kuat dari para kontestan untuk menjaga netralitas perangkat desa
serta tidak bertindak curang dengan cara mempolitisasi perangkat desa yang ada
di wilayah pemilihannya, dengan jalan salah satunya membuat pakta integritas.
- Dalam
mencegah politisasi perangkat desa dapat dilakukan dengan cara mengoptimalkan
kinerja daripada Satgas Dana Desa (DD) yang telah dibentuk pemerintah, dimana
kita sudah maklum adanya bahwa menjelang Pemilu sangat rentan terjadi
penyelewengan DD yang akan di manfaatkan untuk memobilisasi pembangunan desa
dengan mengatasnamakan salah satu kontestan calon anggota dewan.
- Hadirnya
moral yang kuat daripada setiap personil perangkat desa untuk tidak menerima
setiap bujuk rayu dengan imbalan apapun dari para kontestan guna memenangkan
salah satu calon legislatif dimana para perangkat desa harus selalu berpegang
teguh pada aturan yang ada dan berlaku.
Ancaman
politisasi perangkat desa di tahun politik ini haruslah diwaspadai, mengingat
posisi mereka yang strategis di pedesaan. Para kontestan Pemilu di daerah
mempunyai peluang yang sangat besar dalam memanfaatkan posisi perangkat desa.
Oleh karena itu netralitas keberadaan para abdi masyarakat tersebut tetaplah
harus dijaga. Warga masyarakat bersama KPU dan Bawaslu harus bekerja ekstra
dalam menjaga netralitasnya. Dengan demikian proses pemilu sebagai bentuk
pelaksanaan demokrasi di Indonesia senantiasa akan dapat berjalan dengan jujur,
adil serta jauh dari kecurangan. Sekecil apapun keterlibatan perangkat desa
dalam pemenangan salah satu kontestan perlu dilaporkan. Dengan begitu marwah
demokrasi terus akan terjaga.
Sudah
saatnya desa – desa di tanah air menunjukkan jati dirinya, dimana demokrasi
pedesaan yang selama ini di agung – agungkan dan sudah berjalan selama berabad
– abad dapat menjadi contoh bagi pemerintah dalam pelaksanaan Pemilu. Demokrasi
lokal pedesaan yang selama ini telah berjalan tidak layak untuk dinodai dengan
adanya politisasi terhadap perangkat desa dalam Pemilu tahun ini. Warga
masyarakat desa biasanya akan tertib dan antusias dalam memberikan suaranya
pada pencoblosan, selain itu juga mereka tetap menjaga kerukunan meskipun
berbeda dalam pemilihan para kontestan.
Komentar
Posting Komentar